artikel ini terdapat di http://egg-animation.blogspot.com
dfdfKonflik Palestina?..Invasi Irak?..Milisi Moro?atau Muslim di Thailand?..kita semua sudah mendengar kegelisahan, kesengsaran, diskriminasi serta pemusnahan suatu etnis oleh kepentingan dan kekuasaan semata. Tetapi pernahkah kita tau Bagaimana kehidupan Etnis Muslim Uighur di China?..Atau memang kita jarang mendengar Saudara kita disini?..Memang jawabannya sulit sekali mengetahu informasi mengenai Etnis Muslim Uighur di China, dikarenakan sulitnya akses informasi yang didapat dari China secara China merupakan negara paling ketat atas sensor suatu arus informasi, Google sebagai salah satu akses informasi terbesar di dunia pun takluk pada sensor yang dikeluarkan oleh Pemerintah China, yang memang membatasi peran media. Tetapi apakah kita tahu bahwa Saudara kita Etnis Muslim Uighur disana sangat menderita dan berujung pada pemusnahan etnis oleh Pemerintahan China !!!..
Coba anda Search saja di Google ketik dengan keyword "Etnis Muslim Uighur CHina", tak kurang dari banyak berita menyedihkan melanda Saudara kita ini...Diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah China seperti zaman Uni Soviet yang membantai ribuan umat Muslim saat itu, begitu pun dengan China yang berideologi sama dengan Uni SOviet. Ternyata dibalik kemajuan, perkembangan, Ekonomi China menyimpan suatu rahasia besar mengenai kasus ini. Dibawah ini saya sadur dari berbagai artikel mengenai Etnis Kaum Uighur di China :
Tindak kekerasan di Xinjiang tidak terjadi tiba-tiba. Akar penyebabnya adalah ketegangan etnis antara warga Uighur Muslim dan warga Cina etnis Han. Masalah ini bisa dirunut balik hingga beberapa dekade, dan bahkan ke penaklukan wilayah yang kini disebut Xinjiang oleh Dinasti Qing Manchu pada abad ke-18. Pada tahun 1940-an, muncul Republik Turkestan Timur di sebagian Xinjiang, dan banyak warga Uighur merasakan itu menjadi hak asasi mereka.
Namun, kenyataannya, mereka menjadi bagian Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, dan Xinjiang dinyatakan sebagai salah satu kawasan otonomi Cina dengan mengeyampingkan fakta bahwa mayoritas penduduk di sana pada saat itu orang Uighur. Status otonomi tidak tulus, dan meski Xinjiang dewasa ini dipimpin oleh gubernur dari kalangan warga Uighur, orang yang memegang kekuasaan riil adalah sekretaris jenderal daerah Partai Komunis Cina , Wang Lequan, yang orang Cina etnis Han.
Perpindahan Warga
Di bawah pemerintahan Partai Komunis, terjadi pembangunan ekonomi yang sangat gencar, namun kehidupan warga Uighur semakin sulit dalam 20-30 tahun terakhir akibat masuknya banyak warga Cina muda dan memiliki kecakapan teknis dari provinsi-provinsi di bagian timur Cina.
Para migran ini jauh lebih mahir berbahasa Cina dan cenderung diberi lapangan pekerjaan terbaik. Hanya sedikit orang Uighur berbahasa Cina. Tidak mengejutkan, ini menimbulkan penentangan mendalam di kalangan warga Uighur, yang memandang perpindahan orang-orang Han ke Xinjiang sebagai makar pemerintah untuk menggerogoti posisi mereka, merongrong budaya mereka dan mencegah perlawanan serius terhadap keuasaan Beijing.
Dalam perkembangan yang lebih baru, anak-anak muda Uighur terdorong untuk meninggalkan Xinjiang untuk mendapatkan pekerjaan di belahan lain Cina, dan proses ini sudah berlangsung secara informal dalam beberapa tahun. Ada kekhawatiran khusus atas tekanan pemerintah Cina untuk mendoroang wanita muda Uighur pindah ke bagian lain Cina untuk mendapatkan pekerjaan. Dan, ini memperkuat kekhawatiran bahwa mereka akhirnya akan bekerja di bar atau klub malam atau bahkan pelacuran tanpa perlindungan keluarga atau masyarakat mereka.
Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka. Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat ketat.
Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid. Demikian juga pejabat Partai Komunis dan aparat pemerintah.
Tindak kekerasan di Xinjiang tidak terjadi tiba-tiba. Akar penyebabnya adalah ketegangan etnis antara warga Uighur Muslim dan warga Cina etnis Han. Masalah ini bisa dirunut balik hingga beberapa dekade, dan bahkan ke penaklukan wilayah yang kini disebut Xinjiang oleh Dinasti Qing Manchu pada abad ke-18. Pada tahun 1940-an, muncul Republik Turkestan Timur di sebagian Xinjiang, dan banyak warga Uighur merasakan itu menjadi hak asasi mereka.
Namun, kenyataannya, mereka menjadi bagian Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, dan Xinjiang dinyatakan sebagai salah satu kawasan otonomi Cina dengan mengeyampingkan fakta bahwa mayoritas penduduk di sana pada saat itu orang Uighur. Status otonomi tidak tulus, dan meski Xinjiang dewasa ini dipimpin oleh gubernur dari kalangan warga Uighur, orang yang memegang kekuasaan riil adalah sekretaris jenderal daerah Partai Komunis Cina , Wang Lequan, yang orang Cina etnis Han.
Perpindahan Warga
Di bawah pemerintahan Partai Komunis, terjadi pembangunan ekonomi yang sangat gencar, namun kehidupan warga Uighur semakin sulit dalam 20-30 tahun terakhir akibat masuknya banyak warga Cina muda dan memiliki kecakapan teknis dari provinsi-provinsi di bagian timur Cina.
Para migran ini jauh lebih mahir berbahasa Cina dan cenderung diberi lapangan pekerjaan terbaik. Hanya sedikit orang Uighur berbahasa Cina. Tidak mengejutkan, ini menimbulkan penentangan mendalam di kalangan warga Uighur, yang memandang perpindahan orang-orang Han ke Xinjiang sebagai makar pemerintah untuk menggerogoti posisi mereka, merongrong budaya mereka dan mencegah perlawanan serius terhadap keuasaan Beijing.
Dalam perkembangan yang lebih baru, anak-anak muda Uighur terdorong untuk meninggalkan Xinjiang untuk mendapatkan pekerjaan di belahan lain Cina, dan proses ini sudah berlangsung secara informal dalam beberapa tahun. Ada kekhawatiran khusus atas tekanan pemerintah Cina untuk mendoroang wanita muda Uighur pindah ke bagian lain Cina untuk mendapatkan pekerjaan. Dan, ini memperkuat kekhawatiran bahwa mereka akhirnya akan bekerja di bar atau klub malam atau bahkan pelacuran tanpa perlindungan keluarga atau masyarakat mereka.
Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah Cina adalah tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka. Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat ketat.
Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid. Demikian juga pejabat Partai Komunis dan aparat pemerintah.
Pendidikan Agama Dibatasi
Sekolah keagamaan, madrasah, juga sangat dibatasi. Lembaga-lembaga Islam lain yang dulu menjadi bagian sangat penting kehidupan kegamaan di Xinjiang pun dilarang, termasuk persaudaraan Sufi, yang berpusat di makam pendirinya dan menyediakan jasa kesejahteraan dan semacamnya kepada anggotanya.
Semua agama di Cina dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama, tapi pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras daripada terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis Hui yang juga Muslim, tapi penutur bahasa Cina.
Ketatnya pembatasan itu akibat pertautan antara kelompok-kelompok Muslim dan gerakan kemerdekaan di Xinjiang. Gerakan ini sangat bertentangan dengan posisi Beijing.
Ada kelompok-kelompok di dalam Xinjiang yang mendukung gagasan kemerdekaan, tapi mereka tidak diperkenakan mewujudkannya secara terbuka, sebab "memisahkan diri dari ibu pertiwi" dipandang sebagai pengkhianatan.
Pada dekade 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-negara Muslim independen di Asia Tengah, terjadi peningkatan dukungan terbuka atas kelompok-kelompok "separatis", yang memuncak pada unjuk rasa massal di Ghulja pada tahun 1995 dan 1997.
Beijing menindas unjukrasa dengan penggunaan kekuataan luar biasa, dan para akitvis dipaksa keluar dari Xinjiang ke Asia Tengah dan Pakistan atau terpaksa bergerak di bawah tanah.
Iklim Ketakutan
Penindasan keras sejak digulirkannya kampanye "Strike Hard" (Gebuk Keras) pada 1996 mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspor dan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.
Ini menciptakan iklim ketakutan dan kebencian sangat kuat terhadap pemerintah Cina dan warga Cina etnis Han. Mengejutkan bahwa kebencian ini tidak meledak menjadi kemarahan publik, dan unjukrasa sebelumnya, tapi itu dampak ketatnya kontrol yang diberlakukan Cina atas Xinjiang. Ada banyak organisasi kaum pendatang Uighur di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam banyak kasus mereka mendukung otonomi sejati bagi kawasan tanah asal mereka.
Di masa lalu, Beijing juga mempersalahkan Gerakan Islami Turkestan Timur memicu kerusuhan, meski tidak ada bukti bahwa gerakan ini pernah muncul di Xinjiang. Aparat di Beijing tidak bisa menerima bahwa kebijakan mereka sendiri di Xinjiang mungkin penyebab konflik, dan berupaya mempersalahkan orang luar yang mereka tuding memicu tindak kekerasan. Itu juga terjadi dalam kasus Dalai Lama dan Tibet.
Kalau pun organisasi pelarian Uighur ingin menggerakan kerusuhan, tentu sangat sulit bagi mereka untuk melakukannya, dan ada banyak malasah lokal menjadi penyebab kerusuhan tanpa perlu ada campur tangan dari luar.
Sekolah keagamaan, madrasah, juga sangat dibatasi. Lembaga-lembaga Islam lain yang dulu menjadi bagian sangat penting kehidupan kegamaan di Xinjiang pun dilarang, termasuk persaudaraan Sufi, yang berpusat di makam pendirinya dan menyediakan jasa kesejahteraan dan semacamnya kepada anggotanya.
Semua agama di Cina dikendalikan oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama, tapi pembatasan terhadap Islam di kalangan warga Uighur lebih keras daripada terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk etnis Hui yang juga Muslim, tapi penutur bahasa Cina.
Ketatnya pembatasan itu akibat pertautan antara kelompok-kelompok Muslim dan gerakan kemerdekaan di Xinjiang. Gerakan ini sangat bertentangan dengan posisi Beijing.
Ada kelompok-kelompok di dalam Xinjiang yang mendukung gagasan kemerdekaan, tapi mereka tidak diperkenakan mewujudkannya secara terbuka, sebab "memisahkan diri dari ibu pertiwi" dipandang sebagai pengkhianatan.
Pada dekade 1990-an, setelah ambruknya Uni Soviet dan munculnya negara-negara Muslim independen di Asia Tengah, terjadi peningkatan dukungan terbuka atas kelompok-kelompok "separatis", yang memuncak pada unjuk rasa massal di Ghulja pada tahun 1995 dan 1997.
Beijing menindas unjukrasa dengan penggunaan kekuataan luar biasa, dan para akitvis dipaksa keluar dari Xinjiang ke Asia Tengah dan Pakistan atau terpaksa bergerak di bawah tanah.
Iklim Ketakutan
Penindasan keras sejak digulirkannya kampanye "Strike Hard" (Gebuk Keras) pada 1996 mencakup kebijakan memperketat pengendalian terhadap kegiatan agama, pembatasan pergerakan orang dan tidak menerbitkan paspor dan menahan orang-orang yang didicurigai mendukung separatis dan anggota keluarga mereka.
Ini menciptakan iklim ketakutan dan kebencian sangat kuat terhadap pemerintah Cina dan warga Cina etnis Han. Mengejutkan bahwa kebencian ini tidak meledak menjadi kemarahan publik, dan unjukrasa sebelumnya, tapi itu dampak ketatnya kontrol yang diberlakukan Cina atas Xinjiang. Ada banyak organisasi kaum pendatang Uighur di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam banyak kasus mereka mendukung otonomi sejati bagi kawasan tanah asal mereka.
Di masa lalu, Beijing juga mempersalahkan Gerakan Islami Turkestan Timur memicu kerusuhan, meski tidak ada bukti bahwa gerakan ini pernah muncul di Xinjiang. Aparat di Beijing tidak bisa menerima bahwa kebijakan mereka sendiri di Xinjiang mungkin penyebab konflik, dan berupaya mempersalahkan orang luar yang mereka tuding memicu tindak kekerasan. Itu juga terjadi dalam kasus Dalai Lama dan Tibet.
Kalau pun organisasi pelarian Uighur ingin menggerakan kerusuhan, tentu sangat sulit bagi mereka untuk melakukannya, dan ada banyak malasah lokal menjadi penyebab kerusuhan tanpa perlu ada campur tangan dari luar.
Melihat serta membaca apa yang di derita oleh Saudara Muslim kita disana, terbesit pikiran saya sebagai manusia biasa (jiga lagu raja)?..mengapa kaum muslim di luari Indonesia yang notabene nya sebagai minoritas selalu diperlakukan diskriminasi, kemudian dianggap teroris dan dilakukan pembantaian?..apa yang terjadi ?..Tapi jawaban saya saat ini hanya satu yaitu Kepentingan Ideologi semata. Ya Kepentingan ideologi, Islam adalah Sistem Hidup, bukan hanya suatu agama semata. Sistem berkaitan dengan ideologi, para kaum komunis serta kapitalis khawatir dengan ideologi Islam sebagai Sistem hidup ini berkembang maka dari itu dilakukan pemberangusan massal untuk menumpas ini. Kemudian saya terpikir lagi, apabila Islam Ideologi apakah Ideologi ini hanya untuk suatu Negara saja?..dengan mengesampingkan Ideologi Islam yang ada di luar negara tersebut?..Bukankah Islam tidak mengenal batas negara?..karena Islam adalah Rahmatalilalamin (Rahmat bagi seluruh kehidupan di Muka Bumi)...
Tetapi perjuangan itu memang butuh usaha yang keras sekali, khusus bagi Etnis Uighur untuk menjalankan ibadah sehari-hari saja di kekang berbeda dengan saya atau kita di Indonesia, ibadah tidak dikekang pemerintah, tetapi diri kita sendiri yang mengekangnya..Ideologi Islam akan berkembang dan tumbuh dengan dilakukannya gerakan dari berbagai belahan dunia, bukan hanya di suatu negara saja...
- Kisah etnis Uighur China yang sedikit terlupakan hingga saat ini
Insyallah dg berkembangan dan kemajuan teknologi yg semakin canggih insyallah perkembangan ideologi islam disana bisa semakin maju tentu didukung oleh OKI sebagai landasan atau payung kemajuan Islam di dunia. Jd masalahnya sekarang kita membutuhkan orang yg berani dg segala resiko yg dihadapi kelak untuk memimpin kita untuk memajukan Islam di bawah penindasan kaum yg belum tercerahkan akan kebenaran Islam, isnyallah..
BalasHapus