Danau Bandung bukan karena TangkubanParahu
PARA ahli geologi, baik dari Belanda seperti R.W. van Bemmelen dan Th. H.F. Klompe maupun dari Indonesia seperti J.A. Katili, berpendapat bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena letusan dari Gunung Tangkubanparahu. Kemudian pendapatnya itu secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
Dalam karya R.W. van Bemmelen (1936) The Geological Hystory of Bandung Region (translated from Dutch by Robert Smit and Richard Bennett, 1976), demikian juga bukunya yang monumental (1949) The Geology of Indonesia, bagaimana kepincutnya van Bemmelen oleh sasakala Sangkuriang - Dayang Sumbi.
Dalam buku geologi setebal bantal bayi yang berbobot itu, masih menyelipkan sasakala Sangkuriang dalam boksnya. Setelah direkonstruksi, peristiwa geologi Bandung versi van Bemmelen itu ada kesamaan kronologi dengan sakakala tersebut, satu di antaranya bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena peristiwa Gunung Tangkubanparahu yang meletus malam hari dan membendung Citarum purba di utara Padalarang.
Setelah membaca disertasi Mochamad Nugraha Kartadinita yang berjudul “Tephrochronological Study on Eruptive History of Sunda-Tangkuban Perahu Volcanic Complex, West Java, Indonesia” (Kagoshima University, Japan, March, 2005), keyakinan saya tentang pembendungan Danau Bandung Purba oleh Gunung Tangkubanparahu mulai berubah. Walau pun dalam disertasinya tidak dituliskan secara langsung tentang pembentukan Danau Bandung Purba, karena memang di luar kajiannya, saya bisa menyimpulkan, letusan maha dahsyat Gunung Sunda-lah yang telah membendung Citarum purba tersebut.
Sisa kedahsyatan Gunung Sunda
Para anggota TNI AD dan para penggiat kehidupan di alam bebas yang sering berlatih di Situ Lembang, di lembah antara Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Burangrang, pasti sangat akrab dengan pemandangan berupa rangkaian dinding yang memanjang sejak Lawangangin hingga di utara Situ Lembang. Itulah dinding kaldera Gunung Sunda.
Di ujung utara rangkaian dinding itu ada nama Gunung Sunda yang tingginya 1.854 meter dari permukaan laut (dpl.), sebuah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang ini sesungguhnya bukanlah Gunung Sunda yang asli, karena hanya merupakan satu titik dari kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar + 20 km, dan ketinggiannya ditaksir 4.000 m. dpl. Sangat mungkin tinggi sesungguhnya lebih dari taksiran itu. Sebab, pada umumnya sebuah gunung yang meletus hingga membentuk kaldera, kebanyakan menghancurkan dua per tiga tubuh gunungnya.
Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080 meter dpl., ini hanya satu per tiga bagian dari Gunung Sunda. Dua per tiganya lagi adalah bagian gunung yang telah ambruk bersama meledaknya gunung ini. Dengan diketahuinya ketinggian gunung ini maka volumenya akan diperoleh, sehingga dapat mengetahui derajat besaran letusannya.
Pada masa prasejarah, gunung ini meletus dengan jenis letusan plinian, letusan yang banyak mengeluarkan gas gunung api. Letusan tipe ini menyebabkan material gunungapinya disemburkan ke berbagai wilayah yang sangat jauh, hingga Citarum di selatan Rajamandala, dan tersebar di kawasan seluas 200 km2.
Karena begitu banyaknya material dari dalam bumi yang dikeluarkan itulah maka terjadi kekosongan dalam dapur gunung apinya. Inilah salahsatu yang mengakibatkan ambruknya sebagian besar dari tubuh Gunung Sunda hingga membentuk kawah yang sangat luas yang disebut kaldera Gunung Sunda. Dari tengah kaldera ini kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu, yang kemudian meletus beberapa kali.
Dalam disertasinya itu Mochamad Nugraha Kartadinita (MNK) menyimpulkan, bahwa ada gunung api yang lebih besar lagi sebelum adanya Gunung Sunda. Jadi, menurutnya Gunung Sunda lahir dari kaldera Pra-Gunung Sunda. Saya mengusulkan nama Gunung Pra-Sunda itu diberi nama Gunung Jayagiri, karena dinding kalderanya melingkar di kawasan Jayagiri. Gunung Jayagiri terbangun antara 560.000 - 500.000 tahun yang lalu.
Menurut MNK setelah Gunung Pra-Sunda (Gunung Jayagiri, penulis) membentuk kaldera, 300.000 tahun kemudian baru lahir Gunung Sunda dari kalderanya. Dalam penelitian MNK, Gunung Sunda tercatat meletus sebanyak 13 kali, dan kaldera Gunung Sunda yang berukuran 6,5 x 7,5 km. itu terbentuk antara 200.000 - 180.000 tahun yang lalu.
Dari kaldera Gunung Sunda inilah lahir Gunung Tangkubanparahu. MNK membagi dua kategori letusan gunung ini, yaitu: Pertama letusan Gunung Tangkubanparahu tua antara 105.000 - 10.000 tahun yang lalu sebanyak 30 kali letusan dan kedua letusan Gunung Tangkubanparahu muda antara 10.000 - 50 tahun yang lalu yang meletus 12 kali.
H. Tsuya menggolongkan derajat kehebatan letusan gunung api menjadi 9 tingkatan, mulai dari derajat satu, yang hanya mengembuskan fumarola hingga derajat 9 yang melontarkan material gunung api lebih dari 100 km3. Bila sebuah gunung api mampu melontarkan material dari tubuhnya antara 10 - 100 km3 dapat digolongkan mempunyai derajat kehebatan delapan. Gunung Sunda termasuk kategori ini karena pada fase pertama dalam pembentukan kalderanya telah melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3. Jumlah ini sebenarnya hanya 60 persennya saja, sebab tidak menghitung yang menghilang diterbangkan angin ke berbagai penjuru dunia. Bila yang 40 persen lagi dihitung, maka jumlahnya akan mencapai 110 km3.
Sebagai bandingan, pada tahun 1963 Gunung Krakatau meletus dengan mengembuskan volume sebanyak 0,00030 km3 dan tetusan tahun 1973 volumenya sebanyak 0,012 km3. Sedangkan Letusan dahsyat Gunung Krakatau 1883 melontarkan material gunungapi sebanyak 18 km3 atau setara dengan 21.547,6 bom atom. Sedangkan letusan Gunung Tambora tahun 1815 menghembuskan 150 km3, dengan derajat kehebatan IX, atau setara dengan 171.428,6 bom atom (K. Kusumadinata, 1979).
Letusan dahsyat Gunung Sunda sedikitnya terbagi menjadi dua episode letusan utama. Letusan episode pertama mengeluarkan lava, yang terjadi 1,1 juta tahun yang lalu, dan episode kedua, letusan yang telah mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, diperkirakan terjadi antara 205.000 - 180.000 tahun yang lalu.
Pada letusan dahsyat Gunung Sunda episode kedua, piroklastika-nya dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara dengan kayunya yang besar terkubur bersamaan dengan makhluk hidup yang ada di dalamnya, tak terkecuali hewan vertebrata besar seperti badak, rusa, kijang, dan hippopotamus (kuda nil) yang sedang berada di lembah atau rawa-rawa di selatan Rajamandala, yang jaraknya + 35 km. dari pusat letusan. Arang kayu seukuran drum dapat ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, yang kini sudah ditutup. Di sana terdapat pohon-pohon yang melintang serah datangnya awan panas yang telah mengarang.
Dari fosil badak dan hippopotamus yang ditemukan di tebing Citarum sebelah barat daya Bandung, di Baribis Subang, dan di Tambaksari Ciamis, menunjukkan bahwa binatang raksasa ini pernah hidup di Tatar Sunda.
Perjalanan binatang tersebut karena di kawasan lintang tinggi saat itu membeku, suhunya melebihi kemampuan binatang beserta habitatnya untuk bertahan hidup. Siklus hidrologi terputus, bukan hanya air yang ada di laut yang membeku, tapi semua air yang masih ada di darat semuanya membeku, sehingga volume air laut semakin berkurang. Ketika rumput dan sumber makanan lainnya tertimbun es dan mati, maka nalurinya menuntun hewan-hewan itu bergerak ke kawasan yang suhunya lebih hangat dan menyimpan sumber makanan yang masih berlimpah. Salah satu tujuannya adalah kawasan tropik, yang suhunya saat itu + 70 0C lebih rendah dari suhu saat ini.
Ketika terjadi pembekuan di lintang tinggi 3,5 juta tahun yang lalu itulah air laut di kawasan tropika menyusut tajam hingga puluhan meter dalamnya, yang mengeringkan laut di paparan antara benua Asia, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan. Paparan Sunda yang kering inilah yang dijadikan jalan migrasi bagi hewan vertebrata seperti stegodon, badak, rusa, kijang, kerbau, kuda nil, gajah purba, dan yang lainnya, kemudian diikuti oleh migrasi homoerektus hingga manusia prasejarah ke Tatar Sunda.
Binatang vertebrata yang bermigrasi itu ada yang terus mendaki hingga ketinggian 700 m. dpl. dan sampai di Cekungan Bandung. Dari data yang tersingkap di tebing Citarum, ditemukan fosil binatang vertebrata dalam timbunan material lepas dari letusan Gunung Sunda. Fakta ini dapat memberikan petunjuk, bahwa hewan-hewan besar itu masih hidup hingga terjadi letusan mahadahsyat Gunung Sunda.
Dari singkapan tebing di Ci tarum, Umbgrove dan Stehn (1929) menulis tentang penemuan fosil vertebrata. Fosil vertebrata itu oleh R.W. van Bemmelen (1936) direkonstruksi secara geologis dengan kejadian bumi Bandung, dihubungkan dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. Selain van Bemmelen, pada tahun 1956 Th. H.F. Klompe pun menguraikan keadaan geologi Bandung dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. R.W. van Bemmelen dan Th. H.F. Klompe menyebutkan adanya hippopotamus yang mati lemas terkubur piroklastika letusan Gunung Sunda.
Perlu ada penelitian-penelitian lanjutan, seperti penelitian serbuksari dan iklim purba, sehingga dapat ditafsirkan bagaimana pengaruh letusan ini pada kehidupan hutan dan segala isinya, serta adakah pengaruhnya pada perubahan iklim secara lebih luas dan kehancuran ekosistem termasuk binatangnya?
Terbendung material letusan G. Sunda
Sebagai bandingan, bila Gunung Tangkubanparahu sebagai anak Gunung Sunda, atau cucu Gunung Jayagiri meletus nanti, daerah bahayanya hanya seluas 74 km2, serta daerah waspadanya seluas 149,8 km2. Bila letusannya besar, laharnya akan membanjir hingga daerah waspada mengikuti lembah, paling jauh mengikuti Cikapundung hingga jarak + 20 km dari pusat letusan. Hal ini dapat menjadi pembanding, betapa dahsyatnya letusan Gunung Sunda pada periode prasejarah, mampu mengubur apa saja yang ditimpanya dalam radius yang sangat luas dan seketika.
MNK membagi letusan Gunung Sunda itu menjadi tiga fase, pertama fase ignimbrite yang terjadi 105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km3 mengarah ke barat laut, selatan, dan timur laut pusat letusan, menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, seperti dapat dilihat di Ciseupan, di Campaka, Cisarua, dll. Kedua fase freatomagmatik yang melontarkan volume sebanyak 1,71 km3, dan ketiga adalah fase plinian dengan melontarkan material gunung api sebanyak 1,96 km3.
Pada fase ketiga ini material vulkaniknya mendapat tekanan yang sangat tinggi, sehingga mampu dilontarkan ke angkasa membentuk tiang letusan setinggi 20 km dengan payungnya sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7 km. Belum terhitung debu yang melayang-layang mengelilingi angkasa dan jatuh dibelahan bumi yang sangat jauh, yang biasanya volumenya mencapai 40 persen dari total material vulkanik yang dilontarkan.
Dari data tersebut di atas, bahwa letusan Gunung Sunda fase pertama yang terjadi 105.000 tahun yang lalu yang melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3 dan menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa tidak mungkin material vulkanik sebanyak itu tidak menutup aliran Citarum Purba! Saya berkeyakinan, material Gunung Sundalah yang telah membendung Citarum Purba di utara Padalarang, yang sisa sungainya kini disebut Cimeta.
Jadi, jauh sebelum Gunung Tangkubanparahu lahir, Danau Bandung Purba sudah lama terbentuk! Mudah-mudahan para ahli geologi, ahli fosil, ahli palinologi, ahli iklim purba, ahli geografi dapat mengadakan penelitian lanjutan untuk menyingkap sejarah bumi Bandung lebih akurat lagi!
Sesuai kronologi sakakala sang kuriang!
Bila diadakan reinterpretasi sakakala Sangkuriang - Dayang Sumbi, sesungguhnya sakakala itu sudah memberikan tanda-tanda itu. Mari kita lihat kronologi sasakala, khusus pada fase pembendungan dan kejadian Gunung Tangkubanparahu.
Pertama Sangkuriang menebang pohon lametang raksasa dan roboh ke barat. Tunggulnya membentuk Bukit Tunggul, dan rangrangan, sisa dahan, ranting dan daunnya membentuk Gunung Burangrang. Ditafsirkan kedua kerucut ini hanyalah gunung api parasiter dari gunung api yang lebih besar, yaitu Gunung Sunda. Batang pohon itu menjadi bakalan perahu yang akan dibuatnya.
Setelah pohon ditebang (setelah gunung api parasiter terbentuk), Sangkuriang pergi untuk membendung sungai, agar tergenang menjadi danau yang kelak akan dijadikan tempatnya berlayar memadu kasih dengan Dayang Sumbi, sesuai dengan kesepakatan awal antara keduanya. Dapat ditafsirkan, upaya pembendungan sungai dilaksanakan jauh sebelum Gunung Tangkubanparahu terbentuk.
Setelah sungai dibendung, Sangkuriang melanjutkan mengerjakan batang kayu itu menjadi perahu. Danau sudah terbendung, airnya mulai ngamprah, mulai tergenang, dan betapa girangnya Sangkuriang. Fantasinya berlayar bersama Dayang Sumbi memberikan semangat untuk terus membuat perahu.
Namun sebaliknya bagi Dayang Sumbi. Dalam hati Dayang Sumbi berkata, “Wah, kalau begini akan celaka jadinya!” Dayang Sumbi mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, lalu dibungkus dengan kain putih hasilnya menenun. Daun yang dibungkus itu dipotong-potong halus, lalu ditaburkan ke arah timur sambil memanjatkan permohonan:
Jampi saya, si urung gunung,
Kayu Lametang urung dibuat perahu,
Ci Punagara urung dibendung,
Bukan kehendak Sang Kuriang,
Tapi kehendak Dayang Sumbi,
Jadi, TIDAK!
Jadi, TIDAK!
Sang Kuriang TIDAK JADI kepada saya!.
Karena Yang Mahakuasa memayungi makhluknya yang selalu bersih hatinya, seketika itu di ufuk timur fajar menyingsing, cahaya membersit pertanda matahari akan segera terbit. Betapa leganya perasaan Dayang Sumbi. Namun tidak bagi Sangkuriang yang sedang bekerja habis-habisan menyelesaikan perahunya. Begitu melihat cahaya matahari membersit, Sangkuriang marah dan kesal tiada bandingannya.
Dengan kemarahan dan rasa kesal yang memuncak, Sang kuriang menendang perahu yang hampir rampung dibuatnya itu dengan rasa frusrtasi yang mendalam. Maka jadilah Gunung Tangkubanparahu.
Laksana kilat, Dayang Sumbi berlari ke arah timur. Secepat kilat itu pula Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi yang terus berlari menghindari kemarahan dan harapan Sangkuriang. Di sebuah bukit kecil, hampir saja Dayang Sumbi tertangkap, namun Yang Maha Kuasa masih melindunginya. Nyai Dayang Sumbi menghilang entah ke mana. Di bukit tempat menghilangnya Nyai Dayang Sumbi tumbuh berbagai bunga yang mewangi, kini disebut Gunung Puteri. Dapat ditafsirkan bahwa Gunung Tangkubanparahu lahir jauh sesudah danau itu terbentuk!
Sasakala Sangkuriang yang sudah sangat tua umurnya, sudah dikenal pada abad ke-15. Hal ini dapat dibaca dalam catatan Bujangga Manik, tohaan, satria pengelana dari Pajajaran saat melintas di pinggiran Cekungan Bandung bagian selatan. Bujangga Manik menulis, “Leumpang aing ka baratkeun, datang ka Bukit Patenggeng, Sasakala Sangkuriang, masa dek nyitu Citarum, burung tembey kasiangan” (lihat Teuw dan J. Noorduyn).
Cagar bumi
Sisa-sisa kedahsyatan letusan Gunung Sunda merupakan keragaman bumi/geodiversity yang baik bila dijadikan laboratorium lapangan untuk pembelajaran bagi para siswa dan mahasiswa. Di sana mereka bisa belajar tentang pengangkatan daratan, pelipatan kulit bumi, kegunungapian, seperti tentang: lava, bahan lepas, kekuataan letusan, sumbermata air panas, patahan/sesar, gempabumi. Di sana juga bisa belajar paleontologi, geohidrologi, pola aliran sungai, kesuburan lahan, pertanian, peternakan, dan pemanfaatan bentang alam gunung api sejak zaman megalitikum hingga kini, baik untuk kepentingan religi ataupun untuk mengais rezeki dan rekreasi.
Apakah keragaman bumi Bandung ini akan dimanfaatkan dengan baik, ataukah akan dihancurkan karena kelaparkuasaan dan kemegaserakahan?
Goa Pawon, Melengkapi Museum Alam Danau Bandung Purba
LEBIH dari seabad silam, para peneliti sudah menduga bahwa Dataran Tinggi Bandung pernah dijadikan hunian manusia sejak zaman prasejarah. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya berbagai peralatan dari batu seperti anak panah, pisau, dan kapak yang terbuat dari batu obsidian dan artefak lainnya yang tersebar di beberapa tempat.
USAHA menemukan jejak manusia purba di Dataran Tinggi Bandung akhirnya menjadi kenyataan ketika pertengahan Juli lalu, para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung yang menindaklanjuti penelitian sekelompok geolog muda yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), menemukan fosil manusia purba di daerah yang disebut Goa Pawon.
"Walaupun usianya lebih muda karena diperkirakan berasal dari masa mesolitik, namun secara arkeologis temuan itu sangat signifikan, terutama dalam hubungannya dengan terbentuknya Danau Bandung Purba," kata Dr Tony Djubiantono, Kepala Balar Bandung.
Goa Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung. Lokasi penemuan terletak tidak jauh dari sisi jalan raya yang menghubungkan Bandung–Cianjur dan kota-kota lainnya di sebelah barat.
Disebut Goa Pawon karena lokasi temuan berada di dalam goa kars yang terletak di sisi tebing bukit kars Gunung Masigit yang oleh penduduk setempat dinamakan Goa Pawon. Dalam bahasa Sunda, pawon artinya sama dengan dapur. Jika diukur dengan permukaan tanah terendah di daerah itu yang diperkirakan merupakan dasar danau, maka letak goa tersebut berada pada ketinggian sekitar 100 meter.
Dugaan goa tersebut pernah dihuni manusia prasejarah pertama kali disampaikan KRBC. Ketika itu, sekitar dua tahun lalu, sekelompok geolog muda yang terdiri dari Eko Yulianto, Budi Brahmantyo, Johan Arief, T Bachtiar, dan dibantu Sujatmiko melakukan penelitian endapan danau Bandung Purba. Namun, tatkala meneliti endapan Sungai Cibukur yang letaknya sekitar 200 meter dari Goa Pawon, mereka menemukan artefak berupa dua buah mata kapak dan satu kapak genggam. Karena merasa menemukan sesuatu yang dianggapnya "istimewa", mereka tidak bisa menahan nalurinya sebagai peneliti untuk meneliti lokasi tersebut lebih lanjut. Ternyata dugaannya tidak meleset. Mereka menemukan lebih banyak lagi artefak setelah melakukan penggalian di Goa Pawon yang selama ini dianggap angker oleh masyarakat setempat.
PENELITIAN lebih mendalam terhadap Goa Pawon barulah dilakukan dua tahun kemudian oleh Balar Bandung. Dipimpin arkeolog Drs Lutfi Youndri, penelitian dilakukan sejak 10-19 Juli lalu. Dari penggalian yang dilakukan, selain ditemukan sekitar 20.250 serpihan tulang-belulang dan 4.050 serpihan batu, pada kedalaman 80 cm ditemukan fosil tulang tengkorak manusia. Sementara pada kedalaman 120 cm, ditemukan fosil tulang kering dan telapak kaki manusia prasejarah. Baik Lutfi maupun Tony Djubiantono meyakini masih terdapat fosil individu lainnya di tempat tersebut.
Melihat temuan yang cukup penting dalam sejarah terbentuknya Danau Bandung Purba tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, H Memet H Hamdan, yang melakukan peninjauan lapangan melihat besarnya potensi sejarah dan budaya situs tersebut. Karena itu, ia segera memerintahkan pemagaran situs tersebut untuk menghindarkan perusakan oleh tangan-tangan iseng.
"Saya juga akan meminta bantuan Bupati Bandung mengamankan lokasi ini," katanya bersemangat. Keinginan ini disampaikan karena daerah sekitar situs merupakan lokasi eksploitasi kapur dan marmer terbesar di Kabupaten Bandung.
Goa Pawon yang terletak pada kawasan kars Padalarang, menurut geolog Hanang Samodra, merupakan kompleks goa fosil yang bertingkat dengan gejala peruntuhan dan pelarutan yang membentuk beberapa lubang atau sumuran tegak (shaft) sedalam belasan meter. Sedimen di dalam goa yang tebalnya lebih dari tiga meter bercampur dengan endapan fosfat quano.
Pada sedimen goa tersebut diakui pernah ditemukan artefak, kepingan tulang vertebrata dan beberapa jenis moluska darat. Menurut dia, penemuan itu mengukuhkan nilai arkeologi goa yang informasinya dapat dipakai untuk menafsirkan keberadaan manusia purba atau prasejarah yang diduga tinggal di sekitar pinggiran Danau Bandung Purba. Ia menduga, goa tersebut hanya merupakan tempat persinggahan dan bukan merupakan tempat tinggal manusia prasejarah.
DANAU Bandung Purba dengan latar belakang sejarah dan legendanya yang memikat, selama ini belum banyak dijual sebagai obyek wisata khusus, terutama geowisata. Padahal, potensinya sangat besar sehingga akan menambah kuat daya tarik wisatawan mengunjungi Dataran Tinggi Bandung.
Dari segi cerita rakyat Sunda, legenda Sangkuriang yang diciptakan nenek-moyang manusia Sunda hingga kini masih tetap memikat untuk diceritakan kembali. Konon, danau tersebut diciptakan berkat kesaktian Sangkuriang yang berusaha memenuhi permintaan Dayang Sumbi yang akan disuntingnya sebagai istri. Wanita yang diceritakan tetap cantik di masa tuanya itu tidak lain dari ibunya sendiri. Rencananya, pasangan anak dan ibu itu akan berbulan madu dengan berlayar mengarungi danau tersebut yang diciptakan dengan membendung Sungai Citarum.
Namun, sang ibu rupanya tak kalah akal untuk menggagalkan rencana tersebut. Dengan kesaktiannya, ia berhasil mengelabui anaknya tercinta. Ia menciptakan seolah-olah fajar yang menjadi batas waktu yang dijanjikan, sudah menyingsing. Keadaan itu disusul dengan ramainya kokok ayam jantan. Burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut pagi.
Menyadari usahanya telah gagal, Sangkuring kemudian menendang perahunya yang belum rampung sehingga terbalik. Dan, setelah sadar bahwa dirinya telah tertipu, ia mengejar-ngejar Dayang Sumbi. Wanita bernasib malang itu menyelamatkan diri dengan melompat ke atas lunas perahu yang terbalik sehingga menciptakan lubang yang besar menembus perut bumi.
Kelak dikemudian hari, perahu yang terbalik itu berubah menjadi Gunung Tangkubanperahu. Di bagian tengahnya terdapat kawah Ratu, tempat di mana Dayang Sumbi melompat dan kemudian hilang ditelan bumi. Karena itu, jika sewaktu-waktu kita bernasib mujur tatkala berkunjung ke Gunung Tangkubanperahu, sesekali akan terdengar suara yang berasal dari lepasan tufa panas dari kawahnya. Suaranya yang terdengar mendengus-dengus itu diibaratkan sebagai tangis Dayang Sumbi yang harus menanggung derita sampai akhir hayatnya.
DANAU Bandung Purba sebenarnya bukanlah hanya dongeng semata. Secara geologis, fenomena itu bisa dibuktikan dengan berbagai peristiwa alam yang pernah dilalui dalam perjalanan sejarahnya. Dataran Tinggi Bandung yang kini dihuni lebih dari tujuh juta jiwa manusia, pada awalnya merupakan dasar lautan. Daratan tertinggi hanya ada di daerah Pangalengan.
Di sebelah utara, menjulang tinggi gunung api yang dikelilingi laut. Tingginya sekitar 3.000 meter. Karena puncaknya selalu diselimuti es, gunung tersebut dinamakan Gunung Sunda, kata yang berasal dari bahasa Sanksakerta. Cuda artinya putih, bersih. Kelak dikemudian hari, sejalan dengan peristiwa geologi yang terjadi, daratan bagian selatan Pulau Jawa makin terdesak ke atas. Sementara pantainya di bagian utara makin terdesak sehingga dasar laut di daerah Dataran Tinggi Bandung berubah menjadi daratan.
Bukti fenomena alam tersebut hingga kini masih bisa kita saksikan dengan jelas jika memasuki Bandung dari arah barat, baik melalui Cianjur maupun Purwakarta/Cikampek. Seperti kawasan kars lainnya, kawasan kars Padalarang yang tersebar di daerah Cipatat dan Tagogapu, pada awalnya berasal dari koloni binatang dan tumbuhan yang hidup dan tumbuh di laut dangkal. Namun, dengan terjadinya pergeseran pantai, koloni binatang dan tumbuhan tersebut kemudian mati lalu membentuk batu gamping. Apa yang bisa kita saksikan sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses geologi setelah batuan tersebut kemudian terangkat ke permukaan.
Gunung Sunda yang terdapat di Dataran Tinggi Bandung merupakan gunung api yang sangat aktif. Gunung api tersebut diperkirakan mengalami beberapa kali letusan dahsyat. Gunung Tangkubanperahu yang menjadi land mark Dataran Tinggi Bandung dan Gunung Burangrang di sebelahnya yang selalu dikait-kaitkan dengan legenda Sangkuriang, sebenarnya merupakan parasit Gunung Sunda setelah mengalami beberapa kali letusan dahsyat.
Letusan dahsyat itu juga meningalkan patahan Lembang yang hingga kini bisa kita saksikan jika berkunjung ke daerah bagian utara Bandung.
Peristiwa alam tersebut tidak terhenti sampai di situ. Sebagai gunung api yang hingga masih aktif, dalam salah satu letusannya yang paling dahsyat, Gunung Tangkubanperahu memuntahkan abu dan material vulkanik lainnya. Aliran lava dan awan panas mengalir ke segala penjuru sampai akhirnya menyumbat aliran Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya di daerah yang kini bernama Rajamandala.
Secara perlahan-lahan, sumbatan lava itu akhirnya menciptakan Danau Bandung yang sangat luas. Di kalangan masyarakat Sunda, danau tersebut sering disebut Situ Hyang.
Permukaan air Danau Bandung Purba ketika itu diperkirakan tingginya sekitar 725 meter di atas permukaan laut. Ini berarti, bibir danau tersebut membentang dari Sanghyang Tikoro di Rajamandala di sebelah barat sampai Cicalengka di sebelah timur, sejauh lebih kurang 50 km. (Her Suganda)
(Disadur dari berbagai sumber)
PARA ahli geologi, baik dari Belanda seperti R.W. van Bemmelen dan Th. H.F. Klompe maupun dari Indonesia seperti J.A. Katili, berpendapat bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena letusan dari Gunung Tangkubanparahu. Kemudian pendapatnya itu secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
Dalam karya R.W. van Bemmelen (1936) The Geological Hystory of Bandung Region (translated from Dutch by Robert Smit and Richard Bennett, 1976), demikian juga bukunya yang monumental (1949) The Geology of Indonesia, bagaimana kepincutnya van Bemmelen oleh sasakala Sangkuriang - Dayang Sumbi.
Dalam buku geologi setebal bantal bayi yang berbobot itu, masih menyelipkan sasakala Sangkuriang dalam boksnya. Setelah direkonstruksi, peristiwa geologi Bandung versi van Bemmelen itu ada kesamaan kronologi dengan sakakala tersebut, satu di antaranya bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena peristiwa Gunung Tangkubanparahu yang meletus malam hari dan membendung Citarum purba di utara Padalarang.
Setelah membaca disertasi Mochamad Nugraha Kartadinita yang berjudul “Tephrochronological Study on Eruptive History of Sunda-Tangkuban Perahu Volcanic Complex, West Java, Indonesia” (Kagoshima University, Japan, March, 2005), keyakinan saya tentang pembendungan Danau Bandung Purba oleh Gunung Tangkubanparahu mulai berubah. Walau pun dalam disertasinya tidak dituliskan secara langsung tentang pembentukan Danau Bandung Purba, karena memang di luar kajiannya, saya bisa menyimpulkan, letusan maha dahsyat Gunung Sunda-lah yang telah membendung Citarum purba tersebut.
Sisa kedahsyatan Gunung Sunda
Para anggota TNI AD dan para penggiat kehidupan di alam bebas yang sering berlatih di Situ Lembang, di lembah antara Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Burangrang, pasti sangat akrab dengan pemandangan berupa rangkaian dinding yang memanjang sejak Lawangangin hingga di utara Situ Lembang. Itulah dinding kaldera Gunung Sunda.
Di ujung utara rangkaian dinding itu ada nama Gunung Sunda yang tingginya 1.854 meter dari permukaan laut (dpl.), sebuah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang ini sesungguhnya bukanlah Gunung Sunda yang asli, karena hanya merupakan satu titik dari kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar + 20 km, dan ketinggiannya ditaksir 4.000 m. dpl. Sangat mungkin tinggi sesungguhnya lebih dari taksiran itu. Sebab, pada umumnya sebuah gunung yang meletus hingga membentuk kaldera, kebanyakan menghancurkan dua per tiga tubuh gunungnya.
Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080 meter dpl., ini hanya satu per tiga bagian dari Gunung Sunda. Dua per tiganya lagi adalah bagian gunung yang telah ambruk bersama meledaknya gunung ini. Dengan diketahuinya ketinggian gunung ini maka volumenya akan diperoleh, sehingga dapat mengetahui derajat besaran letusannya.
Pada masa prasejarah, gunung ini meletus dengan jenis letusan plinian, letusan yang banyak mengeluarkan gas gunung api. Letusan tipe ini menyebabkan material gunungapinya disemburkan ke berbagai wilayah yang sangat jauh, hingga Citarum di selatan Rajamandala, dan tersebar di kawasan seluas 200 km2.
Karena begitu banyaknya material dari dalam bumi yang dikeluarkan itulah maka terjadi kekosongan dalam dapur gunung apinya. Inilah salahsatu yang mengakibatkan ambruknya sebagian besar dari tubuh Gunung Sunda hingga membentuk kawah yang sangat luas yang disebut kaldera Gunung Sunda. Dari tengah kaldera ini kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu, yang kemudian meletus beberapa kali.
Dalam disertasinya itu Mochamad Nugraha Kartadinita (MNK) menyimpulkan, bahwa ada gunung api yang lebih besar lagi sebelum adanya Gunung Sunda. Jadi, menurutnya Gunung Sunda lahir dari kaldera Pra-Gunung Sunda. Saya mengusulkan nama Gunung Pra-Sunda itu diberi nama Gunung Jayagiri, karena dinding kalderanya melingkar di kawasan Jayagiri. Gunung Jayagiri terbangun antara 560.000 - 500.000 tahun yang lalu.
Menurut MNK setelah Gunung Pra-Sunda (Gunung Jayagiri, penulis) membentuk kaldera, 300.000 tahun kemudian baru lahir Gunung Sunda dari kalderanya. Dalam penelitian MNK, Gunung Sunda tercatat meletus sebanyak 13 kali, dan kaldera Gunung Sunda yang berukuran 6,5 x 7,5 km. itu terbentuk antara 200.000 - 180.000 tahun yang lalu.
Dari kaldera Gunung Sunda inilah lahir Gunung Tangkubanparahu. MNK membagi dua kategori letusan gunung ini, yaitu: Pertama letusan Gunung Tangkubanparahu tua antara 105.000 - 10.000 tahun yang lalu sebanyak 30 kali letusan dan kedua letusan Gunung Tangkubanparahu muda antara 10.000 - 50 tahun yang lalu yang meletus 12 kali.
H. Tsuya menggolongkan derajat kehebatan letusan gunung api menjadi 9 tingkatan, mulai dari derajat satu, yang hanya mengembuskan fumarola hingga derajat 9 yang melontarkan material gunung api lebih dari 100 km3. Bila sebuah gunung api mampu melontarkan material dari tubuhnya antara 10 - 100 km3 dapat digolongkan mempunyai derajat kehebatan delapan. Gunung Sunda termasuk kategori ini karena pada fase pertama dalam pembentukan kalderanya telah melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3. Jumlah ini sebenarnya hanya 60 persennya saja, sebab tidak menghitung yang menghilang diterbangkan angin ke berbagai penjuru dunia. Bila yang 40 persen lagi dihitung, maka jumlahnya akan mencapai 110 km3.
Sebagai bandingan, pada tahun 1963 Gunung Krakatau meletus dengan mengembuskan volume sebanyak 0,00030 km3 dan tetusan tahun 1973 volumenya sebanyak 0,012 km3. Sedangkan Letusan dahsyat Gunung Krakatau 1883 melontarkan material gunungapi sebanyak 18 km3 atau setara dengan 21.547,6 bom atom. Sedangkan letusan Gunung Tambora tahun 1815 menghembuskan 150 km3, dengan derajat kehebatan IX, atau setara dengan 171.428,6 bom atom (K. Kusumadinata, 1979).
Letusan dahsyat Gunung Sunda sedikitnya terbagi menjadi dua episode letusan utama. Letusan episode pertama mengeluarkan lava, yang terjadi 1,1 juta tahun yang lalu, dan episode kedua, letusan yang telah mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, diperkirakan terjadi antara 205.000 - 180.000 tahun yang lalu.
Pada letusan dahsyat Gunung Sunda episode kedua, piroklastika-nya dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara dengan kayunya yang besar terkubur bersamaan dengan makhluk hidup yang ada di dalamnya, tak terkecuali hewan vertebrata besar seperti badak, rusa, kijang, dan hippopotamus (kuda nil) yang sedang berada di lembah atau rawa-rawa di selatan Rajamandala, yang jaraknya + 35 km. dari pusat letusan. Arang kayu seukuran drum dapat ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, yang kini sudah ditutup. Di sana terdapat pohon-pohon yang melintang serah datangnya awan panas yang telah mengarang.
Dari fosil badak dan hippopotamus yang ditemukan di tebing Citarum sebelah barat daya Bandung, di Baribis Subang, dan di Tambaksari Ciamis, menunjukkan bahwa binatang raksasa ini pernah hidup di Tatar Sunda.
Perjalanan binatang tersebut karena di kawasan lintang tinggi saat itu membeku, suhunya melebihi kemampuan binatang beserta habitatnya untuk bertahan hidup. Siklus hidrologi terputus, bukan hanya air yang ada di laut yang membeku, tapi semua air yang masih ada di darat semuanya membeku, sehingga volume air laut semakin berkurang. Ketika rumput dan sumber makanan lainnya tertimbun es dan mati, maka nalurinya menuntun hewan-hewan itu bergerak ke kawasan yang suhunya lebih hangat dan menyimpan sumber makanan yang masih berlimpah. Salah satu tujuannya adalah kawasan tropik, yang suhunya saat itu + 70 0C lebih rendah dari suhu saat ini.
Ketika terjadi pembekuan di lintang tinggi 3,5 juta tahun yang lalu itulah air laut di kawasan tropika menyusut tajam hingga puluhan meter dalamnya, yang mengeringkan laut di paparan antara benua Asia, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan. Paparan Sunda yang kering inilah yang dijadikan jalan migrasi bagi hewan vertebrata seperti stegodon, badak, rusa, kijang, kerbau, kuda nil, gajah purba, dan yang lainnya, kemudian diikuti oleh migrasi homoerektus hingga manusia prasejarah ke Tatar Sunda.
Binatang vertebrata yang bermigrasi itu ada yang terus mendaki hingga ketinggian 700 m. dpl. dan sampai di Cekungan Bandung. Dari data yang tersingkap di tebing Citarum, ditemukan fosil binatang vertebrata dalam timbunan material lepas dari letusan Gunung Sunda. Fakta ini dapat memberikan petunjuk, bahwa hewan-hewan besar itu masih hidup hingga terjadi letusan mahadahsyat Gunung Sunda.
Dari singkapan tebing di Ci tarum, Umbgrove dan Stehn (1929) menulis tentang penemuan fosil vertebrata. Fosil vertebrata itu oleh R.W. van Bemmelen (1936) direkonstruksi secara geologis dengan kejadian bumi Bandung, dihubungkan dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. Selain van Bemmelen, pada tahun 1956 Th. H.F. Klompe pun menguraikan keadaan geologi Bandung dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. R.W. van Bemmelen dan Th. H.F. Klompe menyebutkan adanya hippopotamus yang mati lemas terkubur piroklastika letusan Gunung Sunda.
Perlu ada penelitian-penelitian lanjutan, seperti penelitian serbuksari dan iklim purba, sehingga dapat ditafsirkan bagaimana pengaruh letusan ini pada kehidupan hutan dan segala isinya, serta adakah pengaruhnya pada perubahan iklim secara lebih luas dan kehancuran ekosistem termasuk binatangnya?
Terbendung material letusan G. Sunda
Sebagai bandingan, bila Gunung Tangkubanparahu sebagai anak Gunung Sunda, atau cucu Gunung Jayagiri meletus nanti, daerah bahayanya hanya seluas 74 km2, serta daerah waspadanya seluas 149,8 km2. Bila letusannya besar, laharnya akan membanjir hingga daerah waspada mengikuti lembah, paling jauh mengikuti Cikapundung hingga jarak + 20 km dari pusat letusan. Hal ini dapat menjadi pembanding, betapa dahsyatnya letusan Gunung Sunda pada periode prasejarah, mampu mengubur apa saja yang ditimpanya dalam radius yang sangat luas dan seketika.
MNK membagi letusan Gunung Sunda itu menjadi tiga fase, pertama fase ignimbrite yang terjadi 105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km3 mengarah ke barat laut, selatan, dan timur laut pusat letusan, menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, seperti dapat dilihat di Ciseupan, di Campaka, Cisarua, dll. Kedua fase freatomagmatik yang melontarkan volume sebanyak 1,71 km3, dan ketiga adalah fase plinian dengan melontarkan material gunung api sebanyak 1,96 km3.
Pada fase ketiga ini material vulkaniknya mendapat tekanan yang sangat tinggi, sehingga mampu dilontarkan ke angkasa membentuk tiang letusan setinggi 20 km dengan payungnya sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7 km. Belum terhitung debu yang melayang-layang mengelilingi angkasa dan jatuh dibelahan bumi yang sangat jauh, yang biasanya volumenya mencapai 40 persen dari total material vulkanik yang dilontarkan.
Dari data tersebut di atas, bahwa letusan Gunung Sunda fase pertama yang terjadi 105.000 tahun yang lalu yang melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3 dan menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa tidak mungkin material vulkanik sebanyak itu tidak menutup aliran Citarum Purba! Saya berkeyakinan, material Gunung Sundalah yang telah membendung Citarum Purba di utara Padalarang, yang sisa sungainya kini disebut Cimeta.
Jadi, jauh sebelum Gunung Tangkubanparahu lahir, Danau Bandung Purba sudah lama terbentuk! Mudah-mudahan para ahli geologi, ahli fosil, ahli palinologi, ahli iklim purba, ahli geografi dapat mengadakan penelitian lanjutan untuk menyingkap sejarah bumi Bandung lebih akurat lagi!
Sesuai kronologi sakakala sang kuriang!
Bila diadakan reinterpretasi sakakala Sangkuriang - Dayang Sumbi, sesungguhnya sakakala itu sudah memberikan tanda-tanda itu. Mari kita lihat kronologi sasakala, khusus pada fase pembendungan dan kejadian Gunung Tangkubanparahu.
Pertama Sangkuriang menebang pohon lametang raksasa dan roboh ke barat. Tunggulnya membentuk Bukit Tunggul, dan rangrangan, sisa dahan, ranting dan daunnya membentuk Gunung Burangrang. Ditafsirkan kedua kerucut ini hanyalah gunung api parasiter dari gunung api yang lebih besar, yaitu Gunung Sunda. Batang pohon itu menjadi bakalan perahu yang akan dibuatnya.
Setelah pohon ditebang (setelah gunung api parasiter terbentuk), Sangkuriang pergi untuk membendung sungai, agar tergenang menjadi danau yang kelak akan dijadikan tempatnya berlayar memadu kasih dengan Dayang Sumbi, sesuai dengan kesepakatan awal antara keduanya. Dapat ditafsirkan, upaya pembendungan sungai dilaksanakan jauh sebelum Gunung Tangkubanparahu terbentuk.
Setelah sungai dibendung, Sangkuriang melanjutkan mengerjakan batang kayu itu menjadi perahu. Danau sudah terbendung, airnya mulai ngamprah, mulai tergenang, dan betapa girangnya Sangkuriang. Fantasinya berlayar bersama Dayang Sumbi memberikan semangat untuk terus membuat perahu.
Namun sebaliknya bagi Dayang Sumbi. Dalam hati Dayang Sumbi berkata, “Wah, kalau begini akan celaka jadinya!” Dayang Sumbi mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, lalu dibungkus dengan kain putih hasilnya menenun. Daun yang dibungkus itu dipotong-potong halus, lalu ditaburkan ke arah timur sambil memanjatkan permohonan:
Jampi saya, si urung gunung,
Kayu Lametang urung dibuat perahu,
Ci Punagara urung dibendung,
Bukan kehendak Sang Kuriang,
Tapi kehendak Dayang Sumbi,
Jadi, TIDAK!
Jadi, TIDAK!
Sang Kuriang TIDAK JADI kepada saya!.
Karena Yang Mahakuasa memayungi makhluknya yang selalu bersih hatinya, seketika itu di ufuk timur fajar menyingsing, cahaya membersit pertanda matahari akan segera terbit. Betapa leganya perasaan Dayang Sumbi. Namun tidak bagi Sangkuriang yang sedang bekerja habis-habisan menyelesaikan perahunya. Begitu melihat cahaya matahari membersit, Sangkuriang marah dan kesal tiada bandingannya.
Dengan kemarahan dan rasa kesal yang memuncak, Sang kuriang menendang perahu yang hampir rampung dibuatnya itu dengan rasa frusrtasi yang mendalam. Maka jadilah Gunung Tangkubanparahu.
Laksana kilat, Dayang Sumbi berlari ke arah timur. Secepat kilat itu pula Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi yang terus berlari menghindari kemarahan dan harapan Sangkuriang. Di sebuah bukit kecil, hampir saja Dayang Sumbi tertangkap, namun Yang Maha Kuasa masih melindunginya. Nyai Dayang Sumbi menghilang entah ke mana. Di bukit tempat menghilangnya Nyai Dayang Sumbi tumbuh berbagai bunga yang mewangi, kini disebut Gunung Puteri. Dapat ditafsirkan bahwa Gunung Tangkubanparahu lahir jauh sesudah danau itu terbentuk!
Sasakala Sangkuriang yang sudah sangat tua umurnya, sudah dikenal pada abad ke-15. Hal ini dapat dibaca dalam catatan Bujangga Manik, tohaan, satria pengelana dari Pajajaran saat melintas di pinggiran Cekungan Bandung bagian selatan. Bujangga Manik menulis, “Leumpang aing ka baratkeun, datang ka Bukit Patenggeng, Sasakala Sangkuriang, masa dek nyitu Citarum, burung tembey kasiangan” (lihat Teuw dan J. Noorduyn).
Cagar bumi
Sisa-sisa kedahsyatan letusan Gunung Sunda merupakan keragaman bumi/geodiversity yang baik bila dijadikan laboratorium lapangan untuk pembelajaran bagi para siswa dan mahasiswa. Di sana mereka bisa belajar tentang pengangkatan daratan, pelipatan kulit bumi, kegunungapian, seperti tentang: lava, bahan lepas, kekuataan letusan, sumbermata air panas, patahan/sesar, gempabumi. Di sana juga bisa belajar paleontologi, geohidrologi, pola aliran sungai, kesuburan lahan, pertanian, peternakan, dan pemanfaatan bentang alam gunung api sejak zaman megalitikum hingga kini, baik untuk kepentingan religi ataupun untuk mengais rezeki dan rekreasi.
Apakah keragaman bumi Bandung ini akan dimanfaatkan dengan baik, ataukah akan dihancurkan karena kelaparkuasaan dan kemegaserakahan?
Goa Pawon, Melengkapi Museum Alam Danau Bandung Purba
LEBIH dari seabad silam, para peneliti sudah menduga bahwa Dataran Tinggi Bandung pernah dijadikan hunian manusia sejak zaman prasejarah. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya berbagai peralatan dari batu seperti anak panah, pisau, dan kapak yang terbuat dari batu obsidian dan artefak lainnya yang tersebar di beberapa tempat.
USAHA menemukan jejak manusia purba di Dataran Tinggi Bandung akhirnya menjadi kenyataan ketika pertengahan Juli lalu, para arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung yang menindaklanjuti penelitian sekelompok geolog muda yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), menemukan fosil manusia purba di daerah yang disebut Goa Pawon.
"Walaupun usianya lebih muda karena diperkirakan berasal dari masa mesolitik, namun secara arkeologis temuan itu sangat signifikan, terutama dalam hubungannya dengan terbentuknya Danau Bandung Purba," kata Dr Tony Djubiantono, Kepala Balar Bandung.
Goa Pawon terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung. Lokasi penemuan terletak tidak jauh dari sisi jalan raya yang menghubungkan Bandung–Cianjur dan kota-kota lainnya di sebelah barat.
Disebut Goa Pawon karena lokasi temuan berada di dalam goa kars yang terletak di sisi tebing bukit kars Gunung Masigit yang oleh penduduk setempat dinamakan Goa Pawon. Dalam bahasa Sunda, pawon artinya sama dengan dapur. Jika diukur dengan permukaan tanah terendah di daerah itu yang diperkirakan merupakan dasar danau, maka letak goa tersebut berada pada ketinggian sekitar 100 meter.
Dugaan goa tersebut pernah dihuni manusia prasejarah pertama kali disampaikan KRBC. Ketika itu, sekitar dua tahun lalu, sekelompok geolog muda yang terdiri dari Eko Yulianto, Budi Brahmantyo, Johan Arief, T Bachtiar, dan dibantu Sujatmiko melakukan penelitian endapan danau Bandung Purba. Namun, tatkala meneliti endapan Sungai Cibukur yang letaknya sekitar 200 meter dari Goa Pawon, mereka menemukan artefak berupa dua buah mata kapak dan satu kapak genggam. Karena merasa menemukan sesuatu yang dianggapnya "istimewa", mereka tidak bisa menahan nalurinya sebagai peneliti untuk meneliti lokasi tersebut lebih lanjut. Ternyata dugaannya tidak meleset. Mereka menemukan lebih banyak lagi artefak setelah melakukan penggalian di Goa Pawon yang selama ini dianggap angker oleh masyarakat setempat.
PENELITIAN lebih mendalam terhadap Goa Pawon barulah dilakukan dua tahun kemudian oleh Balar Bandung. Dipimpin arkeolog Drs Lutfi Youndri, penelitian dilakukan sejak 10-19 Juli lalu. Dari penggalian yang dilakukan, selain ditemukan sekitar 20.250 serpihan tulang-belulang dan 4.050 serpihan batu, pada kedalaman 80 cm ditemukan fosil tulang tengkorak manusia. Sementara pada kedalaman 120 cm, ditemukan fosil tulang kering dan telapak kaki manusia prasejarah. Baik Lutfi maupun Tony Djubiantono meyakini masih terdapat fosil individu lainnya di tempat tersebut.
Melihat temuan yang cukup penting dalam sejarah terbentuknya Danau Bandung Purba tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, H Memet H Hamdan, yang melakukan peninjauan lapangan melihat besarnya potensi sejarah dan budaya situs tersebut. Karena itu, ia segera memerintahkan pemagaran situs tersebut untuk menghindarkan perusakan oleh tangan-tangan iseng.
"Saya juga akan meminta bantuan Bupati Bandung mengamankan lokasi ini," katanya bersemangat. Keinginan ini disampaikan karena daerah sekitar situs merupakan lokasi eksploitasi kapur dan marmer terbesar di Kabupaten Bandung.
Goa Pawon yang terletak pada kawasan kars Padalarang, menurut geolog Hanang Samodra, merupakan kompleks goa fosil yang bertingkat dengan gejala peruntuhan dan pelarutan yang membentuk beberapa lubang atau sumuran tegak (shaft) sedalam belasan meter. Sedimen di dalam goa yang tebalnya lebih dari tiga meter bercampur dengan endapan fosfat quano.
Pada sedimen goa tersebut diakui pernah ditemukan artefak, kepingan tulang vertebrata dan beberapa jenis moluska darat. Menurut dia, penemuan itu mengukuhkan nilai arkeologi goa yang informasinya dapat dipakai untuk menafsirkan keberadaan manusia purba atau prasejarah yang diduga tinggal di sekitar pinggiran Danau Bandung Purba. Ia menduga, goa tersebut hanya merupakan tempat persinggahan dan bukan merupakan tempat tinggal manusia prasejarah.
DANAU Bandung Purba dengan latar belakang sejarah dan legendanya yang memikat, selama ini belum banyak dijual sebagai obyek wisata khusus, terutama geowisata. Padahal, potensinya sangat besar sehingga akan menambah kuat daya tarik wisatawan mengunjungi Dataran Tinggi Bandung.
Dari segi cerita rakyat Sunda, legenda Sangkuriang yang diciptakan nenek-moyang manusia Sunda hingga kini masih tetap memikat untuk diceritakan kembali. Konon, danau tersebut diciptakan berkat kesaktian Sangkuriang yang berusaha memenuhi permintaan Dayang Sumbi yang akan disuntingnya sebagai istri. Wanita yang diceritakan tetap cantik di masa tuanya itu tidak lain dari ibunya sendiri. Rencananya, pasangan anak dan ibu itu akan berbulan madu dengan berlayar mengarungi danau tersebut yang diciptakan dengan membendung Sungai Citarum.
Namun, sang ibu rupanya tak kalah akal untuk menggagalkan rencana tersebut. Dengan kesaktiannya, ia berhasil mengelabui anaknya tercinta. Ia menciptakan seolah-olah fajar yang menjadi batas waktu yang dijanjikan, sudah menyingsing. Keadaan itu disusul dengan ramainya kokok ayam jantan. Burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut pagi.
Menyadari usahanya telah gagal, Sangkuring kemudian menendang perahunya yang belum rampung sehingga terbalik. Dan, setelah sadar bahwa dirinya telah tertipu, ia mengejar-ngejar Dayang Sumbi. Wanita bernasib malang itu menyelamatkan diri dengan melompat ke atas lunas perahu yang terbalik sehingga menciptakan lubang yang besar menembus perut bumi.
Kelak dikemudian hari, perahu yang terbalik itu berubah menjadi Gunung Tangkubanperahu. Di bagian tengahnya terdapat kawah Ratu, tempat di mana Dayang Sumbi melompat dan kemudian hilang ditelan bumi. Karena itu, jika sewaktu-waktu kita bernasib mujur tatkala berkunjung ke Gunung Tangkubanperahu, sesekali akan terdengar suara yang berasal dari lepasan tufa panas dari kawahnya. Suaranya yang terdengar mendengus-dengus itu diibaratkan sebagai tangis Dayang Sumbi yang harus menanggung derita sampai akhir hayatnya.
DANAU Bandung Purba sebenarnya bukanlah hanya dongeng semata. Secara geologis, fenomena itu bisa dibuktikan dengan berbagai peristiwa alam yang pernah dilalui dalam perjalanan sejarahnya. Dataran Tinggi Bandung yang kini dihuni lebih dari tujuh juta jiwa manusia, pada awalnya merupakan dasar lautan. Daratan tertinggi hanya ada di daerah Pangalengan.
Di sebelah utara, menjulang tinggi gunung api yang dikelilingi laut. Tingginya sekitar 3.000 meter. Karena puncaknya selalu diselimuti es, gunung tersebut dinamakan Gunung Sunda, kata yang berasal dari bahasa Sanksakerta. Cuda artinya putih, bersih. Kelak dikemudian hari, sejalan dengan peristiwa geologi yang terjadi, daratan bagian selatan Pulau Jawa makin terdesak ke atas. Sementara pantainya di bagian utara makin terdesak sehingga dasar laut di daerah Dataran Tinggi Bandung berubah menjadi daratan.
Bukti fenomena alam tersebut hingga kini masih bisa kita saksikan dengan jelas jika memasuki Bandung dari arah barat, baik melalui Cianjur maupun Purwakarta/Cikampek. Seperti kawasan kars lainnya, kawasan kars Padalarang yang tersebar di daerah Cipatat dan Tagogapu, pada awalnya berasal dari koloni binatang dan tumbuhan yang hidup dan tumbuh di laut dangkal. Namun, dengan terjadinya pergeseran pantai, koloni binatang dan tumbuhan tersebut kemudian mati lalu membentuk batu gamping. Apa yang bisa kita saksikan sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses geologi setelah batuan tersebut kemudian terangkat ke permukaan.
Gunung Sunda yang terdapat di Dataran Tinggi Bandung merupakan gunung api yang sangat aktif. Gunung api tersebut diperkirakan mengalami beberapa kali letusan dahsyat. Gunung Tangkubanperahu yang menjadi land mark Dataran Tinggi Bandung dan Gunung Burangrang di sebelahnya yang selalu dikait-kaitkan dengan legenda Sangkuriang, sebenarnya merupakan parasit Gunung Sunda setelah mengalami beberapa kali letusan dahsyat.
Letusan dahsyat itu juga meningalkan patahan Lembang yang hingga kini bisa kita saksikan jika berkunjung ke daerah bagian utara Bandung.
Peristiwa alam tersebut tidak terhenti sampai di situ. Sebagai gunung api yang hingga masih aktif, dalam salah satu letusannya yang paling dahsyat, Gunung Tangkubanperahu memuntahkan abu dan material vulkanik lainnya. Aliran lava dan awan panas mengalir ke segala penjuru sampai akhirnya menyumbat aliran Sungai Citarum dan sejumlah anak sungainya di daerah yang kini bernama Rajamandala.
Secara perlahan-lahan, sumbatan lava itu akhirnya menciptakan Danau Bandung yang sangat luas. Di kalangan masyarakat Sunda, danau tersebut sering disebut Situ Hyang.
Permukaan air Danau Bandung Purba ketika itu diperkirakan tingginya sekitar 725 meter di atas permukaan laut. Ini berarti, bibir danau tersebut membentang dari Sanghyang Tikoro di Rajamandala di sebelah barat sampai Cicalengka di sebelah timur, sejauh lebih kurang 50 km. (Her Suganda)
(Disadur dari berbagai sumber)
Artikel yan gmenarik, keep posting.. :)
BalasHapus